I made this widget at MyFlashFetish.com.

Selasa, 21 Desember 2010

Angkaro dan Tunturana

Dua ekor kepiting, Angkaro dan Tunurana, bersahabat karib. Mereka tingggal bersama di pinggir laut, di balik bebatuan. Apabila air laut surut, mereka bersembunyi karena takut kepada orang-orang yang sedang mencari ikandan mencari kepiting. Apabila air laut pasang, Angkaro dan Tunturana girang bermain tanpa takut akan ditangkap manusia.

Pada suatu malam, ketika bulan purnama, Angkaro dan Tunturana keluar menikmati keindahan alam. Ketika itu air laut pasang. Manusia pun beramai-ramai menikmati sinar bulan purnama seperti halnya makhluk-makhluk yang lain.

“Sahabat, badan kita polos, tak indah dipandang,” kata Angkaro kepada Tunturana, “Bagaimana kalau kita hiasi punggung kita agar kelihatan menarik?”

“Baik sekali pendapat itu. Kita perlu mempercantik diri agar kelihatan menarik. Lalu, bagaimana caranya?”

“Begini saja,” sahut Angkaro, “Kita lukisi punggung kita dengan cat warna-warni yang serasi warnanya dengan kulit kita.”

“Baik,” kata Angkaro, “Siapa dulu?”

“Aku dulu, kata Tunturana, “Ukirlah punggungku dengan hiasan yang indah-indah.”

Angkaro mulai mengukir punggung Tunturana. Punggung Tunturana dihiasi dengan bulatan dari muka ke belakang dan dari atas ke bawah. Lukisan itu sangat memesona.

“Sudah selesai, sahabat,” kata Angkaro, “Bercerminlah di permukaan air di bawah sinar bulan purnama!”

Tunturana pun bercermin.

“Bagus, bukan?” Tanya Angkaro.

“Ya, bagus sekali! Terima kasih, sahabat!” kata Tunturana.

“Sekarang giliran kamu mengukir punggungku,” kata Angkaro.

“Baiklah! Sekarang tanam punggungmu, aku akan mempercantik tubuhmu,” lalu Tunturana pun mengambil kuas dan cat hendak mengukir punggung Angkaro. Namun, apa yang terjadi?

Tiba-tiba air laut pun surut. Datanglah pencari ikan membawa obor. Kedua ekor kepiting itu pun terkejut. Berlarilah mereka terbirit-birit untuk menghindari bahaya.

“Maaf, sahabat,” kata Tunturanam, “Orang-orang sudah datang hendak menangkap kita. Tak ada waktu untuk melukisi punggungmu.”

“Tidak! Punggungku harus kamu ukir, jangan biarkan polos!” teriak Angkaro.

Melihat obor-obor semakin dekat, Tunturana mencakar-cakar punggung Angkaro dengan kuas dan cat. Punggung Angkaro sekarang penuh dengan cakaran tidak keruan karena tergesa-gesa hendak menyelamatkan diri.

Angkaro terpaksa menerima keadaan. Keduanya berkawan dalam bentuk yang amat berbeda: Tunturana cantik dan Angkaro jelek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar