I made this widget at MyFlashFetish.com.

Selasa, 21 Desember 2010

Dongeng : Air Susu Dibalas Air Tuba

Seorang petani sedang asyik mengumpulkan kayu-kayu kering. Tiba-tiba. ia mendengar jeritan. Ia menoleh ke sana ke sini, tapi tak melihat siapa pun. Lalu, ia meneruskan mengumpulkan kayu.

Sekali lagi terdengar jeritan. Kali ini, ia mencari dengan lebih teliti. Akhirnya, dilihatnya seekor ular terjepit diantara batu-batu. Petani itu meloncat mundur karena takut. Ular adalah hewan yang licik. Namun, hewan itu mencoba mengiba-iba.

“Tolonglah aku, Tuan. Keluarkan aku dari bawah batu ini!”

“Aku bisa saja menolongmu,” jawab si petani. “Tapi, untuk apa? Kamu pasti akan menggigitku dan menyemburkan racunmu. Bagaimana pun ular tetap ular.”

“Astaga, aku takkan pernah berbuat sekeji itu,” kata ular.

Akhirnya, dengan mengabaikan akal sehatnya, petani itu mengangkat batu yang menindih ular. Dibiarkannya ular merayap keluar. Tiba-tiba, ular itu menggigitnya. Nyaris! Untung saja petani itu masih sempat menghindarinya.

“Nah, benar, kan!” teriak petani. “Kamu ular licik. Aku tahu itu. Mengapa kau membalas budi baik dengan perbuatan keji? Aku tak mengerti.”

Ada alasannya,” jawab ular. “Memang begitulah hokum rimba. Air susu dibalas dengan air tuba.”

Petani itu tak sependapat dengan si ular. “Tak semua orang setuju dengan pendapatmu itu,” katanya. “Jika ada orang yang berbuat baik terhadapku, aku akan selalu mengingatnya dan berusaha membalas kebaikannya.” Ular itu hanya mendengus.

“Kita bertaruh saja,” kata petani. “Carilah siapa yang setuju dengan pendapatmu maka kau akan kulepaskan.”

Petani dan ular itu pun berjalan bersama. Mereka bertemu dengan seekor kuda tua yang melangkah terseok-seok. Ekornya yang berambut jarang dengan lemah berusaha mengusir lalat yang mengerumuni kakinya.

“Hai kuda, menurutmu, budi baik harus dibalas dengan apa?” Tanya petani.

“Dengan kejahatan, jawab kuda.

“Mengapa kau berpendapat begitu?” Tanya petani kecewa.

“Waktu aku masih muda dan kuat, majikanku selalu merawatku dengan kasih saying. Aku diberi kandang dan jerami. Aku juga boleh makan sekenyangku. Tapi, aku sekarang sudah tua dan lemah, aku malah diusirnya begitu saja,” jawab kuda sedih.

“Nah, apa kataku,” dengus ular puas. “Sekarang juga akan kugigit kau dengan gigiku yang berbisa.”

“Tunggu dulu,” dengan tergesa-gesa petani itu berseru. “Sebaiknya, kita tanyakan pada yang lain lagi.”

Keduanya meneruskan perjalanan. Di padang rumput mereka melihat seekor domba sedang merumput. Petani bertanya padanya, “Hai domba, menurutmu, budi baik harus dibalas dengan apa?”

“Dengan kejahatan,” kata domba tanpa menoleh.

“Mengapa kau berpendapat begitu?” Tanya petani.

“Aku selalu memberikan wol untuk majikaku, tapi dia jahat. Di musim panas, dibiarkan buluku tumbuh lebat hingga aku pingsan kepanasan. Di musim dingin, dicukunya buluku hingga aku beku kedinginan,” jawab domba.

“Bagus! Sekarang, kugigit kau dengan taringku yang berbisa,” kata ular dengan mendesis.

“Sabar…sabar,” cegah si petani. “Pasti ada pendapat yang lain lagi.”

Mereka pun berjalan lagi. Untung, sebelum si ular melihat rubah, petani sudah melihat lebih dahulu. Petani menyelinap dan berbicara dengan rubah itu.

“Sebentar lgi aku akan menemuimu dengan seekor ular,” katanya menerangkan. “Kalau kau kutanya, jawablah bahwa budi baik harus dibalas dengan budi baik juga. Nanti, kuberi kau anak domba dan itik yang gemuk.”

“Boleh juga tawaranmu,” jawab rubah. Setelah itu, petani kembali berjalan bersama ular. Tak lama kemudian, mereka berpapasan dengan rubah. “Menurut pendapatmu, rubah,” kata petani. “Budi baik harus dibalas dengan apa?”

“Dengan budi baik,” jawab rubah tersenyum sambil membayangkan daging anak domba dan itik yang gemuk. Lalu, ketiganya mengobrol. Rubah mendengarkan cerita bagaimana ular terjepit di bawah batu. Dia tak percaya. Jadi, mereka kembali ke tempat batu itu. Atas anjuran rubah, petani itu menindih kembali si ular dengan batu. Rubah benar-benar telah menyelamatkan petani.

Namun malamnya, ketika rubah menagih janji, petani itu mengunci erat-erat kandang domba dan itiknya. Petani itu justru mengusirnya dengan acungan senapan dan dua ekor anjing galak.

“Wah, kau jadi pintar, ya!” seru rubah. “Memang benar kata ular itu!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar